Sungguh menjadi fenomena yang sangat aneh, di tengah kondisi dan stabilitas pemerintahan yang kurang stabil, kondisi yang carut-marut, para pejabat teras justru banyak yang mengadakan perjalanan keluar kota. Orang lain biasanya menyebut perjalanan tersebut dengan istilah dinas. Namun tidak bagi saya. Saya lebih suka untuk menggunakan term jalan-jalan dari pada dinas. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena apa yang mereka dapatkan dari perjalanan tersebut adalah nihil dan tidak dapat dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya, apalagi orang-orang yang berada jauh di bawahnya. Yang mereka dapatkan hanya capek dan oleh-oleh saja (itupun bagi mereka yang tidak pelit).
Saya menilai, Selama ini program perjalanan dinas ke luar kota yang dilakukan oleh para pejabat tidak efektif karena visi dan misinya tidak dirumuskan dengan baik. Apa tujuan mereka dinas, mereka pun tidak tahu. Ketidakefektifan tersebut juga terlihat dari tidak adanya sosialisasi sekembalinya delegasi itu ketempat mereka bekerja. Seharusnya apa yang mereka dapatkan selama melakukan dinas tersebut, disosialisasikan kepada para pejabat atau karyawan yang lain sehingga karyawan yang apes dan tidak pernah mendapatkan jatah dinas bisa mendapatkan hal-hal baru bermanfaat yang didapatkan dari sebuah perjalanan dinas.
Untuk itu, ke depannya, program untuk sebuah acara jalan-jalan (baca: dinas) harus disusun secara blak-blakan dan transparan. Dari mana anggaran dinas tersebut diperoleh (ingat…uang yang dipakai buat dinas itu bukan uang nenek moyang), apa tujuan dari dinas tersebut (jangan-jangan hanya sekedar jalan-jalan dan menghabiskan anggaran tahunan????), apa visi dan misinya (sudah pada tahu apa itu visi dan misi kan?). Nah, saya yakin, ‘ainul yakin, dan bahkan haqqul yakin, kalau kalo kesemua hal tersebut dirumuskan dengan baik, maka tidak akan terjadi kontroversi dan saling curiga seperti saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar