Kamis, 25 September 2008

Jabutan Ancak

JABUTAN ACAK DI DESA WONOREJO KECAMATAN LUMBANG KABUPATEN PASURUAN: ANALISIS NILAI DAN PERANNYA DI ERA GLOBALISASI

Muhamad Nur Hidayad (Jurusan Sastra Inggris)
Novi Eka Susilowati (Jurusan Sastra Indonesia)
A.F. Sulaiman (Jurusan Sastra Inggris)
Muhamad Yasin (Jurusan Sastra Indonesia)
Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Malang

ABSTRAK
Indonesia kaya akan kebudayaan daerah. Kebudayaan tersebut tidak sama antara daerah maupun suku yang satu dengan lainnya. Hampir setiap daerah di Indonesia mempunyai kebudayaan tersendiri. Kebudayaan tersebut juga dimiliki oleh warga masyarakat Desa Wonorejo Kecamatan Lumbang Kabupaten Pasuruan. Di desa tersebut ada kebudayaan yang cukup unik, yaitu ritual jabutan ancak. Ritual tersebut sarat akan nilai-nilai yang selama ini menjadi ciri bangsa Indonesia, misalnya gotong royong yang kini mulai terkikis oleh kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jenis penelitian dalam penelitian ini yaitu penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi dan wawancara. Instrumen yang digunakan yaitu peneliti sendiri (human instrument). Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, catatan lapangan, kamera, dan tape recorder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual jabutan ancak tersebut lahir karena adanya pengaruh agama Hindu. Awalnya, upacara tersebut lahir sebagai bentuk rasa syukur dan juga sebagai alat penolak bencana dari Tuhan. Penduduk setempat berkeyakinan apabila mereka melakukan ritual tersebut maka desa tersebut akan terhindar dari malapetaka dan bencana. Dalam ritual jabutan ancak tersebut, terdapat beberapa nilai. Nilai tersebut yaitu nilai religi, nilai sosial, dan nilai hiburan. Oleh karena itu, ritual ini sangat penting pengaruhnya di era globalisasi. Hal ini dikarenakan di era ini banyak orang yang telah melupakan nilai-nilai tersebut. Banyak orang kini bersifat individualis dan egois sehingga nilai-nilai seperti gotong royong mulai terlupakan. Oleh karena itulah, kegiatan-kegiatan yang bisa menumbuhkan rasa gotong royong maupun kebersamaan ini perlu untuk dilestarikan.

Kata Kunci: jabutan ancak, nilai, peran, globalisasi

PENDAHULUAN
Apakah kebudayaan itu? Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhi (budaya adalah bentuk jamaknya) yang dapat diartikan sebagai pikiran dan akal. Sebagian ahli menyebutkan bahwa kebudayaan mempunyai definisi cipta, rasa, dan karsa. Menurut Koentjaraningrat (1990), kebudayaan adalah segala hal yang dimiliki oleh manusia yang hanya diperolehnya dengan cara belajar dan menggunakan akalnya. Sedangkan menurut Maran, kebudayaan merupakan ekspresi eksistensi manusia di dunia. Pada kebudayaan, manusia menampakkan jejak-jejaknya dalam panggung sejarah.
Kebudayaan adalah suatu fenomena universal. Setiap masyarakat di dunia memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda dari masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Kebudayaan yang berbeda-beda tersebut justru memberikan nuansa kekayaan budaya. Kebudayaan tersebut biasanya dijadikan identitas dari masyarakat tersebut.
Salah satu kebudayaan di Indonesia dapat dilihat dari keanekaragaman suku, bangsa, serta ras yang berbeda kebudayaannya. Suku bangsa tersebut salah satunya adalah suku Jawa yang hidup di sepanjang Pulau Jawa. Mereka tersebar ke dalam beberapa propinsi, kabupaten, kecamatan, maupun desa-desa yang ada di Pulau Jawa ini. Suku Jawa yang tersebar di beberapa tempat tersebut memiliki budaya yang khas dan sarat akan nuansa ke-jawa-an.
Suku Jawa yang hingga saat ini masih kental nuansa ke-jawa-annya salah satunya adalah Suku Jawa yang tinggal di Desa Wonorejo Kecamatan Lumbang Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Masyarakat di Desa tersebut memiliki kebudayan yang cukup unik. Di sana terdapat beberapa ritual yang tiap tahun diadakan. Ritual-ritual tersebut antara lain Gadesa, Selamatan Kali, serta Selamatan Danyang. Ketiga ritual tersebut merupakan ritual yang selalu diadakan tiap tahunnya untuk mempertahankan kelestarian dan kesejahteraan desa tersebut.
Di antara ketiga ritual tersebut, Gadesa merupakan ritual yang terbesar dan terpenting. Maksud diadakannya Gadesa ini adalah sebagai wujud rasa syukur masyarakat setempat atas nikmat, anugerah, serta rezeki yang diberikan kepada mereka. Gadesa tersebut sebenarnya merupakan rangkaian dari beberapa ritual lain yang lebih kecil.
Salah satu ritual kecil dari Gadesa adalah ritual jabutan ancak. Jabutan ancak ini merupakan ritual yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk penyampaian rasa syukur masyarakat setempat kepada Tuhan. Rasa syukur tersebut disampaikan dalam bentuk simbol-simbol, misalnya ancak itu sendiri. Namun di lain pihak, secara tidak langsung, ritual jabutan ancak tersebut tidak hanya merupakan bentuk rasa syukur masyarakat setempat, tetapi juga sebagai wadah untuk mewujudkan nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan.
Di lain pihak, bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis. Krisis tersebut tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis moral. Adanya krisis moral tersebut menyebabkan adanya penyusutan nilai, yaitu nilai moral. Semua yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan dan keuntungan pribadi akan dianggap sia-sia. Ikhlas telah diganti dengan pamrih dan gotong royong telah diganti dengan individualisme.
Melihat fenomena yang semacam itu, maka perlu diadakan upaya untuk mereduksinya. Jabutan ancak merupakan salah satu ritual kebudayaan yang bisa digunakan untuk mereduksi fenomena yang demikian. Oleh karena itulah, perlu diadakan penelitian tentang hal ini. Penelitian ini ditekankan nilai-nilai yang terkandung dalam ritual Jabutan ancak tersebut yang sarat akan kebersamaan dan gotong royong. Dengan pertimbangan tersebut, diputuskan bahwa penelitian ini diberi judul Jabutan Ancak Di Desa Wonorejo Kecamatan Lumbang Kabupaten Pasuruan: Analisis Nilai dan Perannya di Era Globalisasi.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini bisa dikategorikan sebagai penelitian kualitatif. Hal ini karena model rancangan penelitian yang digunakan memiliki karakteristik yang relevan sebagai model penelitian kualitatif. Adapun karakteristik penelitian kualitatif menurut Lincoln dan Guba (dalam Moloeng, 1998) adalah (1) menggunakan latar alamiah yang digunakan sumber data langsung, (2) manusia sebagai alat (instrumen), (3) metode yang digunakan adalah metode kualitatif, (4) analisis data secara induktif, (5) bersifat deskriptif, (6) lebih mementingkan proses daripada hasil, (7) desain yang bersifat sementara.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai yang terkandung dalam ritual jabutan ancak beserta perannya di era globalisasi. Untuk itu, dilakukanlah wawancara dan observasi terhadap pelaksanaan ritual tersebut sehingga akhirnya dijadikan data. Setelah data diperoleh, data-data tersebut dianalisis untuk kemudian diolah lebih lanjut.
Dalam penelitian ini, terdapat dua macam data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi. Data primer yang diperoleh dengan wawancara menghasilkan data berupa verba, sedangkan data yang diperoleh dengan observasi menghasilkan data yang berupa tindakan objek yang diamati. Data sekunder diperoleh dari buku, artikel, maupun dokumen pribadi.
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara dan observasi. Wawancara digunakan sebagai alat pertama dalam mencari data. Wawancara digunakan untuk memperoleh data tentang proses hingga pelaksanaan serta pengaruh jabutan ancak terhadap kehidupan sosial masyarakat desa setempat. Wawancara ini dilakukan kepada Kepala Desa Wonorejo, sesepuh desa dan beberapa warga desa tersebut pada bulan April 2007. Observasi digunakan untuk mengamati proses, bentuk, serta pengaruh jabutan ancak terhadap kehidupan sosial masyarakat desa tersebut. Observasi dalam penelitian ini akan dilakukan pada tanggal 17 Juni 2007. akan tetapi, data observasi untuk penelitian ini juga didapatkan dari pelaksanaan jabutan ancak dilakukan pada saat pembuatan ancak sampai pelaksanaan ritual jabutan ancak tersebut sekitar bulan April 2006.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human instrumen). Hal ini dikarenakan dalam penelitian kualitatif, model human instrumen sangat tepat digunakan karena data yang dianalisis bukan berupa angka-angka, tetapi berupa fenomena-fenomena yang mudah berubah. Oleh karena itu, kehadiran peneliti sebagai instrumen utama sangat diperlukan untuk menyikapi serta memutuskan perubahan fenomena yang mudah berubah tersebut. Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, catatan lapangan, kamera, dan tape recorder.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Proses Pembuatan Rangkaian Ancak
Pembuatan rangkaian ancak ini dilakukan pada hari Minggu siang. Pembuatan dilakukan di masing-masing punden dengan tempat bergantung kesepakatan warganya. Biasanya, tempat pembuatan punden ini adalah di depan rumah warga yang mempunyai halaman cukup luas.
Pertama-tama, para lelaki itu membuat semacam meja yang terbuat dari bambu. Meja tersebut merupakan meja sederhana yang mempunyai empat kaki. Hanya saja, sisi-sisi samping dari meja ini dibuat lebih panjang. Fungsi dari perpanjangan sisi meja ini adalah untuk memikul meja ini. Di samping itu, bagian tengah dari meja ini diberi semacam tiang menjulang yang terbuat dari pohon pisang. Fungsi dari tiang ini adalah sebagai tempat penancapan ancak. Setelah meja tersebut jadi, maka selesailah tugas para lelaki ini. Setiap dusun ditugasi membuat dua meja. Meja yang satu sebagai tempat kue, sedangkan meja lainnya sebagai tempat makanan lainnya (nasi beserta lauk pauknya). Meja tempat nasi dan lauk pauk ini dibuat membentuk cekungan agar makanan-makanan yang diletakkan di sana tidak terjatuh.
Di lain pihak, para wanita bertugas mengikat kue, lauk pauk, hasil pertanian, maupun uang pada tali rafia yang panjangnya kira-kira satu meter. Dalam satu meter tali tersebut, tidak dapat dipastikan berapa jumlah kue yang mereka ikatkan, bergantung keinginan dan kemampuan. Mereka berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ingin dicapainya (Koentjaraningrat, 1990:380). Mereka percaya bahwa makin banyak dan bervariasi jumlah yang digantungkan, maka akan semakin mudah pula permintaan mereka dikabulkan.
Benda-benda yang digantungkan tersebut merupakan simbol dari rezeki yang mereka syukuri. Misalnya nasi dan lauk-pauk merupakan simbol rezeki yang mereka makan tiap hari, sedangkan sayur-mayur, kopi, maupun ayam panggang merupakan simbol pertanian dan peternakan yang mereka dapatkan. Begitu pula dengan uang yang menyimbolkan nafkah yang mereka dapatkan.
Setelah kue dan makanan lainnya tersebut diikat pada tali rafia, tali rafia tersebut diikat pada bambu yang dipotong dengan lebar sekitar dua sentimeter dan panjang satu meter. Pada bagian kanan dan kiri bambu tersebut dibuat sesetan sebagai tempat mengikat rafia berisi kue-kue tadi. Setelah rafia tadi diikat pada bambu, maka bambu ini dinamakan ancak. Setelah ancak tersebut jadi, maka diserahkan kepada para lelaki untuk ditancapkan di tiang pohon pisang pada meja ancak tadi.
Setelah semua ancak dari masing-masing rumah terkumpul dan ditancapkan ke tiang pohon pisang, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah menyerahkan rangkaian ancak ini ke balai desa. Mereka menyerahkan rangkaian ancak ini dengan cara menggotongnya beramai-ramai dan bergantian. Lazimnya, desa tersebut. Ancak tersebut diletakkan memanjang secara acak, artinya tidak urut berdasarkan dusun. Rangkaian ancak tersebut diberi nama berdasarkan nama dusun di desa tersebut. Nama dusun tersebut yaitu, Mas Saidono, Samirah, Joko Kuning, Rondo Kuning, Sanggrahan, Wonorejo, dan Petungroto. Setelah rangkaian yang membawa rangkaian ancak ini adalah warga laki-laki.
Setelah sampai di balai desa, terkumpullah empat belas buah rangkaian ancak dari tujuh dusun di desa tersebut. Ancak tersebut diletakkan memanjang secara acak, artinya tidak urut berdasarkan dusun. Rangkaian ancak tersebut diberi nama berdasarkan nama dusun di desa tersebut. Nama dusun tersebut yaitu Samirah, Joko Kuning, Rondo Kuning, Sanggrahan, Jeding,Wonorejo, dan Petungroto. Setelah rangkaian ancak ini terkumpul, maka ritual jabutan ancak ini siap dilaksanakan.

Pertumbuhan dan Perkembangan Ritual Jabutan Ancak
Jabutan ancak berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu jabutan dan ancak. Jabutan artinya mencabut, sedangkan ancak berarti bambu yang sudah diikat dengan tali rafia yang berisi kue dan makanan lainnya. Cara permainan jabutan ancak ini yaitu dengan mencabuti ancak pada tiang pohon pisang pada rangkaian ancak. oleh karena itulah maka ritual ini dinamakan jabutan ancak.
Jabutan ancak ini merupakan ritual wujud rasa syukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, ritual ini juga merupakan bentuk permohonan agar desa tersebut mendapat perlindungan dan selamat dari marabahaya dan malapetaka. Masyarakat desa tersebut masih percaya bahwa ada makhluk tertentu yang menjaga desa mereka sehingga apabila desa mereka ingin selamata maka mereka harus menghormati penjaga desa tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Kodiran (dalam Koentjaraningrat, 2002: 347) mengatakan bahwa orang Jawa (termasuk masyarakat Desa Wonorejo) percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu kesakten, arwah atau leluhur, dan makhluk-makhluk halus seperti misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat mereka tinggal. Menurut kepercayaan, makhluk-makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketenteraman, ataupun keselamatan sehingga apabila seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam tersebut, misalnya dengan berpuasa, bersaji, ataupun selamatan. Oleh karena itu dilakukanlah ritual selamatan (ritual jabutan ancak) dengan tujuan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apapun (Koentjaraningrat, 2002:346).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa ritual ini terpengaruh agama Hindu. Pengaruh animisme terlihat dari kepercayaan masyarakat setempat akan adanya roh-roh halus (penjaga desa) pemilik kekuatan gaib yang menaungi desa mereka. Mereka percaya bahwa pemilik kekuatan gaib itulah yang menjaga desa mereka dari malapetaka dan bencana. Oleh karena itulah, untuk menjaga agar desa mereka senantiasa terhindar dari malapetaka dan bencana, mereka memberi sesaji kepada roh-roh halus tersebut. Pemberian sesaji ini salah satunya berbentuk ritual jabutan ancak. Bukti lain bahwa ritual ini masih terpengaruh animisme adanya kepercayaan bahwa jika masyarakat setempat tidak melaksanakan ritual ini maka Sang Penjaga Desa akan murka terhadap mereka. Akibatnya, desa tersebut bisa terkena bencana. Pengaruh agama Hindu juga terlihat jelas dalam proses pelaksanaan acara. Pengaruh agama Hindu ini bisa dilihat dari doa-doa yang dibaca. Hal ini dikarenakan doa-doa yang dibaca tersebut masih berupa mantra. Bahkan, doa-doa tersebut diucapkan dengan bahasa yang agak sulit dipahami dalam masyarakat tersebut. Akan tetapi, pembacaan doa yang demikian itu justru memberikan suasana gaib dan keramat.
Dalam perkembangannya, ritual jabutan ancak ini sudah mengalami beberapa perubahan. Beberapa hal yang berubah dari ritual yaitu dari jenis benda yang digantungkan pada ancak. Jika dahulu benda yang digantungkan pada ancak adalah kue, lauk pauk, dan hasil pertanian, maka untuk sekarang jenis benda yang digantung bisa kue, lauk-pauk, hasil pertanian, rokok, bahkan uang. Kue maupun lauk pauk yang diberikan pun kini lebih beragam dan modern, sesuai dengan kue yang dibuat pada masing-masing keluarga. Jika dulu kue yang digantungkan biasanya adalah kue apem, nagasari, dan krupuk, maka sekarang kue yang digantungkan bisa roti-rotian, kue donat, dan kue-kue lainnya yang lebih ”baru”.
Perkembangan lainnya dari jabutan ancak ini terletak pada alat yang digunakan untuk menggantungkan kue. Jika dahulu tali yang dipergunakan untuk menggantungkan makanan adalah pelepah pohon pisang, saat ini benda tersebut diganti dengan tali rafia. Hal ini dikarenakan penggunaan rafia dirasa, praktis, kuat, dan mudah didapat.

Bentuk Pelaksanaan Jabutan ancak
Persiapan
Persiapan dilakukan dengan cara membuat rangkaian ancak pada tiap punden (7 punden). Masing-masing punden membuat dua rangkaian ancak, satu rangkaian ancak berisi kue sedangkan rangkaian ancak lainnya berisi nasi, lauk-pauk, hasil pertanian, bahkan uang. Setelah rangkaian ancak siap di masing-masing punden, rangkaian ancak tersebut diserahkan ke balai desa atau tempat lain yang dijadikan tempat pelaksanaan jabutan ancak. Tempat pelaksanaan jabutan ancak ini bisa berpindah-pindah, bergantung kesepakatan. Biasanya tempat yang dijadikan lokasi jabutan ancak adalah rumah kepala desa. Penyerahan rangkaian ancak ini dilaksanakan dengan cara menggotongnya secara beramai-ramai oleh warga laki-laki.
Pembukaan
Sebagai pembuka, acara pertama yang dilakukan yaitu doa yang dipimpin oleh juru kunci. Juru kunci ini bukanlah sembarang orang. Juru kunci merupakan orang yang dianggap mempunyai ilmu gaib. Juru kunci ini dilakukan turun-temurun dari juru kunci yang terdahulu. Saat ini, juru kuncinya bernama Soponyono.
Isi dari doa yang dibacakan juru kunci tersebut biasanya adalah permintaan agar desa tersebut tetap berada dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa serta terhindar dari segala bentuk marabahaya dan bencana. Doa tersebut juga berisi permintaan agar rezeki warga desa tersebut, yang sebagian besar berasal dari hasil pertanian, tetap lancar. Juru kunci juga mendoakan agar para perangkat desa, mulai dari kepala desa, sekretaris desa, BPD, pamong, ketua RT dan RW, tetap berada dalam lindungan-Nya.
Acara inti
Setelah pembacaan doa selesai dilakukan, juru kunci memberi aba-aba bahwa jabutan ancak siap dimulai. Setelah itu, juru kunci memberi tanda dimulainya jabutan ancak. Peserta jabutan ancak tadi segera berebut menuju rangkaian ancak dan kemudian mencabuti ancak-ancak dari tiang pohon pisang hingga ancak yang tersedia habis. Namur karena kadang ancak yang tertancap sulit untuk dicabut maka peserta hanya menarik tali rafia yang berisi kue.
Ancak yang sudah didapatkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik maupun karung goni yang telah mereka persiapkan dari rumah. Peserta jabutan ancak adalah warga Desa Petung yang mengalami kesulitan dalam hal perekonomian, walaupun kadang ada juga peserta yang sebenarnya sudah cukup mampu dalam hal perekonomian namun tetap menjadi peserta acara tersebut.

Nilai-nilai yang Terkandung dalam Ritual Jabutan Ancak
Berdasarkan data yang telah dianalisis, diperoleh informasi bahwa ritual jabutan ancak ini sarat akan nilai. Nilai-nilai tersebut yang paling dominan adalah nilai religi, nilai sosial, dan nilai hiburan. Adapun penjelasan mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam ritual tersebut disajikan di bawah ini.
Nilai Religi
Seperti yang telah diungkapkan di atas, ritual jabutan ancak ini merupakan ritual yang sarat akan nilai religi. Hal ini dibuktikan dengan tujuan dari ritual ini sendiri, yaitu sebagai wujud rasa syukur masyarakat setempat akan nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Nikmat yang dimaksud dalam ritual ini cenderung kepada nikmat yang bersifat materi. Bentuk rasa syukur tersebut dilambangkan dengan benda-benda yang digantungkan pada ancak. Misalnya, makanan yang ditalikan pada ancak merupakan gambaran atas nikmat makanan yang mereka peroleh. Jadi, makanan yang mereka berikan (selain kue) merupakan gambaran tentang makanan yang sehari-harinya mereka makan. Benda lain yang digantungkan misalnya hasil pertanian merupakan simbol rasa syukur atas nikmat yang berupa hasil pertanian mereka karena memang matapencaharian penduduk desa tersebut rata-rata adalah bertani. Jenis hasil pertanian tersebut juga menggambarkan jenis pertanian mereka, misalnya kopi, jagung, bawang prei, kubis, kentang, dan padi. Penggantungan uang menandakan bahwa mereka juga mensyukuri atas nikmat berupa uang yang diberikan Tuhan kepada mereka.
Bukti lain bahwa ritual ini sarat akan nilai religi terletak pada asal-muasal lahirnya. Awalnya, ritual ini lahir tidak hanya sebagai wujud rasa syukur masyarakat desa tersebut, akan tetapi juga sebagai bentuk pemujaan terhadap Tuhan (Penjaga Desa) serta permintaan agar desa tersebut selamat dari marabahaya dan malapetaka. Hal itu sesuai dengan pemikiran Kodiran (dalam Koentjaraningrat, 2002: 347) yang mengatakan bahwa masyarakat Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu kesakten, kemudian arwah atau ruh leluhur, dan makhluk-makhluk halus lainnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa dengan melakukan pemujaan-pemujaan sejenis jabutan ancak, mereka akan memperoleh kebahagiaan, ketenteraman, ataupun keselamatan karena penjaga desa yang mempunyai kekuatan gaib (angker) tersebut senantiasa melindungi desa mereka. Orang Jawa mengalami dunia sebagai tempat di mana kesejahteraannya bergantung dari apakah ia berhasil untuk menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan yang angker tersebut.

Nilai Sosial
Adapun nilai sosial yang terkandung dalam ritual tersebut yaitu gotong royong dan kebersamaan.
Gotong Royong
Gotong royong saat ini sudah jarang diketemukan. Jika di desa, masih memungkinkan ditemui, akan tetapi jika di kota, apalagi kota-kota besar, rasa gotong royong ini sulit sekali ditemui. Individualisme saat ini sedang berkembang pesat hingga mengalahkan rasa gotong royong yang merupakan salah satu ciri bangsa Indonesia.
Walaupun sulit diketemukan, bukan bebarti gotong royong ini tak lagi bisa ditemukan. Masih ada sedikit golongan yang masih tetap teguh melaksanakannya, meski memang tak banyak. Namun yang terpenting adalah, masih ada yang mau melaksanakan gotong royong ini di tengah arus globalisasi yang penuh dengan egoisme individu.
Nilai-nilai gotong royong ini bisa ditemukan di ritual jabutan ancak ini. Bukti yang menunjukkan bahwa ritual jabutan ancak sarat akan nilai gotong royong tersebut bisa dilihat selama proses persiapan ritual jabutan ancak yaitu pembuatan meja ancak yang dilakukan secara bersama-sama oleh warga laki-laki. Selama pembuatan rangkaian ancak, warga desa yang laki-laki, baik tua maupun muda, berkumpul untuk membuat meja ancak secara bersama-sama. Mereka bekerja bersama-sama untuk membuat rangkaian ancak di masing-masing punden mereka.
Nilai gotong royong ini juga bisa dilihat dari pelaksanaan pengumpulan rangkaian ancak. Para lelaki dari tiap dusun membawa rangkaian ancak tersebut ke balai desa dengan cara menggotongnya beramai-ramai dan bergantian. Bagi mereka yang tidak mendapatkan bagian untuk memikul rangkaian ancak itu, lelaki tersebut juga tetap ikut mengentarkan para lelaki pembawa rangkaian ancak itu ke balai desa. Dari kedua hal ini bisa dilihat bahwa ritual ini, selama proses dan pelaksanaannya, memang sarat akan nilai gotong royong.
Menurut Suseno (2001: 50), praktik gotong royong merupakan salah satu bentuk untuk mewujudkan kerukunan. Suseno juga mengatakan bahwa masyarakat Jawa memang menjadikan kerukunan sebagai prinsip hidup mereka. Hal ini membawa implikasi bahwa perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang mereka lakukan harus senantiasa bisa menciptakan kerukunan bagi kehiadupoan mereka. Gotong-royong inilah yang termasuk salah satu bentuk untuk mewujudkan kerukunan.
Lebih lanjut Suseno mengatakan bahwa gotong-royong mengandung dua macam pekerjaan, yaitu saling membantu dan melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa. Saling membantu termasuk di dalamnya adalah membantu tetangga dalam membangun rumah, menyiapkan pesta, dan membantu pada kesempatan-kesempatan tertentu. Sedangkan melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa termasuk di dalamnya adalah pelebaran jalan, perbaikan irigasi, pembangunan sekolah, perbaikan jembatan, ronda malam, dan termasuk persiapan acara-acara desa (misalnya selamatan desa).
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa nilai gotong-royong dalam ritual jabutan ancak termasuk di dalam pekerjaan yang kedua, yaitu melakukan pekerjaan bersama demi kepnetingan seluruh desa. Mereka bersama-sama melakukan proses pembuatan hingga pelaksanaan jabutan ancak dengan tujuan agar desa mereka selamat dari malapetaka dan marabahaya.

Kebersamaan
Nilai kebersamaan dalam pembahasan ini mengacu pada rasa kebersamaan masyarakat Desa Wonorejo terhadap sesamanya yang bukan merupakan warga desa tersebut. Kebersamaan di sini ditekankan pada rasa kebersamaan pada warga desa lain yang kurang mampu yang kemudian menjadi peserta jabutan ancak.
Seperti diungkapkan di atas, ritual ini merupakan wujud kebersamaan masyarakat Desa Wonorejo kepada warga tetangga desanya yang kurang mampu. Warga desa Wonorejo yang prihatin dengan kondisi saudaranya ini merasa perlu untuk membantu mereka. Cara yang mereka gunakan yaitu dengan mengadakan jabutan ancak.
Nilai kebersamaan ini bisa dilihat dari dari tujuan pengadaan ritual jabutan ancak, yaitu untuk membantu warga desa lain yang kurang mampu dalam hal perekonomian yang menyebabkan mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka, khususnya dalam hal pemenuhan makanan. Melalui ritual ini, mereka bisa membantu saudaranya yang kurang mampu tersebut. Dengan kata lain, ritual ini merupakan wujud solidaritas masyarakat desa setempat kepada warga desa tetangga yang kurang mampu.
Kebersamaan ini juga merupakan salah satu bentuk untuk mewujudkan kerukunan. Kerukunan tersebut merupakan motif mengapa pada kesempatan tertentu orang Jawa harus membagikan makanan kepada saudara atau kerabatnya. Mereka berpikir, siapa yang memperoleh keuntungan istimewa diharapkan untuk membagikannya sebagaimana terungkap dalam peribahasa ada sedikit dibagi sedikit, ada banyak dibagi banyak. Karena peribahasa inilah yang biasanya melekat pada pikiran orang Jawa, maka mereka mempunyai kecenderungan untuk saling berbagai dengan sesama. Mereka cenderung membegikan rezeki yang mereka dapatkan, walaupun rezeki yang mereka peroleh hanya sedikit. Namun, bagi mereka, dengan berbagi maka mereka akan bisa turut serta mewujudkan kerukunan, di samping karena mereka memang berempati kepada orang yang mendapat bagian rezeki mereka tersebut.
Dari uraian tersebut terlihat jelas pula bahwa jabutan ancak merupakan bentuk tindakan warga Desa Wonorejo untuk mewujudkan kerukunan kepada sesama walaupun bukan kepada warga desa setempat. Jabutan ancak ini juga merupakan bentuk rasa solidaritas warga Desa Wonorejo yang diungkapkan dengan pembagian rezeki yang mereka dapatkan kepada warga desa lain yang membutuhkan.

Nilai Hiburan
Selain mempunyai nilai religi dan nilai sosial, ritual jabutan ancak ini juga mempunyai nilai hiburan. Hiburan tersebut bisa mereka peroleh mulai dari proses pembuatan hingga pelaksanaan. Selama proses pembuatan meja ancak, para pembuatnya juga merasa mempunyai hiburan tersendiri. Hal ini dikarenakan selama pembuatan meja ancak tersebut mereka bisa berkumpul dan bekerja bersama dengan tetangganya. Selama pembuatan meja ancak tersebut mereka bisa bersenda gurau dan berbincang-bincang dengan tetangganya yang kadang jarang mereka temui karena sibuk bekerja. Pendek kata, selama proses pembuatan meja ancak ini merupakan salah satu wadah untuk bertemu, berkumpul, dan bersenda gurau dengan tetangga, baik yang dewasa, remaja, maupun anak-anak.
Selain itu, proses membawa rangkaian ancak ke balai desa juga membawa hiburan tersendiri bagi mereka. Selama membawa rangkaian ancak tersebut, para pembawa ancak mendapatkan dukungan dan sorak-sorai dari anak-anak yang mengiringi mereka. Bahkan jika mereka melewati dukun lain yang kebetulan belum mengantarkan rangkaian ancaknya, pembawa ancak tersebut biasanya saling mengolok dalam bentuk candaan (bahasa Jawa: nggojlok). Hal ini juga sebuah hiburan tersendiri bagai mereka.
Hiburan lain yang mereka dapatkan yaitu selama proses pelaksanaan jabutan ancak. Selama proses tersebut, warga yang menonton acara tersebut merasa mendapatkan hiburan tersendiri menyaksikan perebutan ancak yang dilakukan tetangga desanya. Dalam hati mereka ada rasa senang, kagum, dan tegang menyaksikannya. Akan tetapi, ada juga warga desa yang merasa tidak tega menyaksikan peserta jabutan ancak saling berebut makanan. Namun yang pasti, bagi mereka, hiburan tersebut tidak harus sesuatu yang bersifat menyenangkan, akan tetapi sesuatu yang menghanyutkan hati mereka juga merupakan hiburan tersendiri.
Peran Jabutan Ancak di Era Globalisasi
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sedang berkembang. Perkembangan ini menuju pada keinginan menjadi bangsa yang maju dan mandiri, yang menguasai ilmu dan teknologi modern-canggih demi perwujudan masyarakat yang adil dan makmur (Maran, 1999). Kondisi bangsa yang demikian ini menyebabkan bangsa Indonesia membuka diri yang selebar-lebarnya dalam menerima segala bentuk kebudayaan yang masuk.
Adanya penerimaan budaya yang masuk ke Indonesia tersebut membawa dampak yang cukup banyak. Dampak tersebut berupa dampak positif maupun negatif. Dampak positif tersebut diantaranya (1) memperkaya kehidupan dalam bidang seni musik, lukis, busana, sastra, drama, dan lain-lain, (2) mendorong dan memberi pola pada sistem pendidikan nasional, dan (3) memperkenalkan Indonesia pada kecanggihan teknologi. Sedangkan dampak negatif dari adanya penerimaan budaya tersebut antara lain (1) individualisme, (2) kapitalisme, dan (3) hedonisme.
Adanya dampak positif dari budaya asing yang masuk ke Indonesia bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Akan tetapi yang perlu dipehatikan adalah dampak negatifnya. Jika dampak negatif dari masuknya budaya asing lebih dominan daripada dampek positif, maka hal ini perlu diwaspadai. Hal ini bisa mengakibatkan ciri khas bangsa Indonesia yang terkenal ramah, saling membantu, dan gotong royong bisa tergantikan dengan individualisme maupun egoisme. Jika demikian halnya, maka bangsa Indonesia memang mungkin bisa menjadi negara yang maju dan menguasai teknologi canggih, akan tetapi tidak lagi memegang nilai-nilai kebersamaan.
Menanggapi fenomena yang demikian, maka diperlukan upaya agar kemajuan bangsa yang dinginkan bisa tercapai dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mempertahankan budaya lokal yang ada di Indonesia. Budaya tersebut salah satunya adalah jabutan ancak.
Berdasarkan uraian pada sub-bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa jabutan ancak merupakan salah satu budaya lokal yang bisa mengurangi pengaruh negatif budaya asing. Dalam jabutan ancak, sarat sekali akan nuansa kebersamaan, gotong royong, maupun nilai religi yang saat ini mulai terdegradasi akibat perkembangan zaman. Melalui ritual ini, nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang mulai terkikis tersebut bisa dikembalikan lagi, bahkan bisa ditingkatkan. Oleh karena itulah, ritual jabutan ancak ini perlu dilestarikan dalam rangka untuk menjaga kebersamaan dan kegotongroyongan masyarakat.
Untuk masyarakat lain yang tidak mempunyai ritual ini, bisa saja mengadopsi kebersamaan dan kegotongroyongan pelaksanaan ritual ini dengan bentuk yang berbeda. Ritual ini bisa dijadikan cerminan bahwa kebersamaan dan kegotongroyongan bisa membawa dampak yang positif (misalnya hiburan) sehingga hal ini perlu dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat di seluruh Indonesia.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa jabutan ancak merupakan salah satu bentuk ritual tahunan yang biasa dilakukan masyarakat Desa Wonorejo. Latar belakang lahirnya ritual ini adalah sebagai bentuk persembahan dan rasa syukur masyarakat setempat atas nikmat rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Jabutan ancak ini dilakukan dengan cara mencabuti ancak pada rangkaian ancak yang dibuat oleh masing-masing punden desa tersebut. Ancak tersebut berisi kue, lauk-pauk, maupun hasil pertanian yang mereka miliki. Pemberian makanan maupun hasil pertanian ini merupakan simbol dari hal yang hendak mereka syukuri. Jabutan ancak ini juga merupakan bentuk sesembahan kepada Tuhan agar desa mereka senantiasa berada dalam lindungan-Nya dan terhindar dari malapetaka dan marabahaya.
Di samping sebagai wujud rasa syukur yang merupakan nilai religi, ritual ini juga mempunyai nilai sosial. Nilai sosialnya berupa gotong royong dan kebersamaan. Gotong royong bisa diketahui selama proses pembuatan sampai penyerahan rangkaian ancak ke balai desa yang selalu dilakukan secara bersama-sama oleh warga desa, khususnya warga laki-laki. Nilai lain dalam ritual ini yaitu nilai hiburan. Dengan adanya pelaksanaan ritual ini, masyarakat setempat mendapatkan hiburan tersendiri dengan menyaksikan acara ini.
Selain mempunyai nilai-nilai, ritual jabutan ancak juga mempunyai peran di era globalisasi. Dengan adanya ritual ini, rasa gotong royong maupun kebersamaan yang selama ini sempat terkikis akibat pengaruh masuknya budaya asing bisa dikembalikan dan dipertahankan. Nilai-nilai religi yang selama ini mulai luntur juga bisa dihidupkan kembali. Dengan kata lain, masyarakat di era globalisasi bisa mengadopsi nilai-nilai yang terkandung dalam ritual jabutan ancak untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya walaupun mereka tidak memiliki ritual ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2002. Sosiologi: Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, Saifudin. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat, dkk. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:Djambatan.
Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Moloeng, Lexy J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Poerwadarminta. W. J. S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sulaeman, Munandar. 1998. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wirawan, Yapsir Gandi dan Syafriman. Perbedaan Orientasi Nilai dan Perilaku Prososial Antara Suku Bangsa Melayu dan Suku Bangsa Tionghoa. (Online), (www.yahoo.com, diakses tanggal 25 Maret 2006).
---------------.2003. Kebudayaan Secara Umum, (Online), (www.dacserdang.blogspot.com, diakses tanggal 24 Maret 2006).





Tidak ada komentar:

Khutbah Jum'at: Rezekimu dalam Jaminan Alloh Swt.

 Khutbah I اَلْحَمْدُ لِلهِ وَاسِعِ الْفَضْلِ وَالْاِحْسَانِ،   اَلْكَرِيْمِ الَّذِيْ تَأَذَّنَ بِالْمَزِيْدِ لِذَوِي الشُّكْرَا...