Selasa, 09 Juni 2009

UNAS, POTRET DARI WAJAH SURAM PENDIDIKAN DI INDONESIA: SEPENGGAL OPINI

Sungguh tragis ketika kita melihat wajah pendidikan di Indonesia saat ini. Wajah yang semakin hari bukan semakin ceria tapi justru semakin suram. Wajah yang suram itu akhir-akhir ini kembali tercoreng gara-gara masalah UNAS. Ya, UNAS yang seharusnya menjadi sebuah media untuk mengukur tingkat keberhasilan para peserta didik ternyata malah dijadikan sebagai ajang untuk berbuat kecurangan. Betapa tidak, sekitar 34 SMA dan 19 SMP di seluruh nusantara ditengarai telah bermain kotor dalam pelaksanaan UNAS. Mereka (baca: pihak sekolah) telah memberikan kunci jawaban palsu kepada para siswanya sehingga membuat nasib para siswa sampai dengan detik ini masih terkatung-katung.
Apa yang telah dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut disadari ataupun tidak telah menjerumuskan anak didik kita ke dalam lembah kesesatan. Mereka telah mengajarkan moral ketidak jujuran kepada para generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya moral generasi muda bangsa ini kalo di bangku sekolah saja mereka sudah diajari kebohongan dan kecurangan. Dan tidak bisa dibayangkan pula bagaimana nasib bangsa ini 20 tahun yang akan datang kalau para pemegang tongkat estafet perjuangan bangsa ini sudah dicekoki oleh hal-hal yang berbau ketidakberesan? Pertanyaan tersebut harus dicari jawaban dan solusinya oleh kita yang masih peduli akan nasib bangsa ini. 
Sebenarnya, masalah UNAS adalah masalah klasik yang selalu menjadi bahan perdebatan setiap tahunnya. Mulai dari nama, system penyelenggaraan, konten dan substansi, maupun nilai minimal kelulusan. Polemik UNAS memang tidak mudah untuk diselesaikan karena di dalamnya sarat dengan muatan politis dan kepentingan oknum-oknum tertentu. Secara pribadi, sebenarnya penulis tidak sepakat kalau UNAS dijadikan sebagi tolak ukur kelulusan siswa. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, UNAS lebih berorientasi pada hasil dan mengabaikan sebuah proses belajar. Artinya, bahwa usaha dan proses belajar siswa selama 6 tahun (bagi siswa-siswi kolah Dasar) atau 3 tahun (bagi siswa-siswi SMP/SMA) di bangku sekolah hanya ditentukan 3 hari saja. Ini sungguh tragis karena anak didik kita diajari sesuatu yang selalu berorientasi pada hasil tanpa memperhatikan proses. Kan kasihan sekali bagi mereka yang sudah berjuang mati-matian dan sungguh-sungguh selama 6 atau 3 tahun harapannya harus pupus gara-gara UNAS. Bahkan kalau kita tinjau secara akademis, UNAS sangat bertolak belakang dengan system penilaian belajr modern atau yang lebih dikenal dengan istilah authentic assessment. Authentic assessment adalah sebuah system penilaian yang berorientasi dan berbasis pada proses belajar. Hal ini senada dengan definisi assessment yang diungkapkan oleh H. Douglas Brown. Menurut Brown (2004: 3) assessment is an ongoing process that encompasses a much wider domain than a test. Selain itu validity dan reliability UNAS juga diragukan karena system penilaiannya hanya berkutat pada satu aspek saja, yaitu aspek kognitif saja, dengan mengesampingkan aspek-aspek penilaian yang lain, yaitu aspek psikomotorik dan aspek afektif.
Alasan selanjutnya yang membuat penulis kurang sreg kalau UNAS dijadikan sebagai standar kelulusan siswa adalah dikebirinya aspek moralitas dalam UNAS. Kejujuran, seolah tidak dinilai lagi. Kebohongan, kecurangan, dan segala hal pun dihalalkan demi sebuah presitse, lulus 100%. 
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah UNAS harus tetap diselenggarakan atau dihapus begitu saja? Di sini penulis sependapat dengan tulisan saudara Munif Chatib di Jawa Pos pada edisi Sabtu, 06 Juni 2009. UNAS boleh saja diselenggarakan, tetapi dengan fungsi pemetaan kualitas, bukan menentukan peserta didik lulus atau gagal.
 Lalu bagaimana untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik? Di sinilah peran guru dan satuan pendidikan (baca: sekolah) sangat dibutuhkan. Bukankah dengan diterapkannya KTSP, satuan pendidikan diberi kewenangan untuk merancang silabus sendiri? Dengan kata lain, kalau yang merancang silabus pembelajaran itu adalah satuan pendidikan, mengapa tidak satuan pendidikan saja yang mengconduct assessment untuk menentukan peserta didik itu lulus atau tidak. Hal ini disebabkan karena disadari ataupun tidak, hanya satuan pendidikanlah (terutama para guru) yang mengetahui polah tingkah, usaha, dan perkembangan peserta didik selama proses belajar berlangsung. Di sinilah kejujuran dan profesionalisme satuan pendidikan dan guru sangat dibutuhkan. Artinya, tidak boleh pilih kasih, berbuat curang dan nepotisme serta hal-hal yang tidak bermoral lainnya dalam menentukan kelulusan peserta didiknya. Pihak-pihak tersebut harus benar-benar memperhatikan mana peserta didik yang layak untuk mendapatkan predikat lulus dan mana yang gagal.  
Semoga kedepannya potret pendidikan di bumi pertiwi yang bernama Indonesia ini akan semakin membaik…

Tidak ada komentar:

Khutbah Jum'at: Rezekimu dalam Jaminan Alloh Swt.

 Khutbah I اَلْحَمْدُ لِلهِ وَاسِعِ الْفَضْلِ وَالْاِحْسَانِ،   اَلْكَرِيْمِ الَّذِيْ تَأَذَّنَ بِالْمَزِيْدِ لِذَوِي الشُّكْرَا...