Tulisan ini saya buat sebagai bentuk kekecewaan kejengkelan saya terhadap ucapan seseorang yang mengatakan bahwa belajar di pondok pesantren tidak efektif sama sekali… Saya menyadari mungkin orang yang berpendapat seperti itu belum tahu dan atau mungkin tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana dan seperti apa system pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran yang ada di pondok pesantren. Di bawah ini akan sedikit saya paparkan bagaimana sebenarnya pola pendidikan di pesantren berdasarkan pengalaman yang saya dapatkan selama kurang lebih 6 tahun hidup di lembaga yang bernama pondok pesantren tersebut.
Introduction
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga tempat para kaum bersarung (baca: santri) menimba ilmu, telah mengalami banyak perubahan dan memainkan peran yang sangat signifikan dalam masyarakat Indonesia.
Pada zaman walisongo, pondok pesantren telah memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Bahkan pada zaman kolonialisme dan imperialism kuno Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari dunia pesantren (Hasbullah 1999:149).
Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Konon, sebelum munculnya pesantren, pusat pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran agama Islam dilaksanakan di surau-surau kecil, masjid atau rumah pemuka agama (baca: kyai). System dan metode pembelajaran dan pengajaran yang digunkan pun masih sangat sederhana. Biasanya para murid (baca: santri) duduk di lantai, menghadap sang guru, dan belajar mengaji bersama. Proses belajar mengajar tersebut biasanya dilaksanakan pada malam hari. Hal ini disebabkan Karena pada siang hari mereka (para santri) harus bekerja membantu oran tuanya. Menurut Zuhairini (1997:212), tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di surau atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Secara garis besar, sebenarnya ada dua system pendidikan yang diaplikasikan dalam beberapa pondok pesantren. System sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan sistem sorogan tersebut, setiap santri mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau assisten kyai (baca: badal). Sistem ini biasanya diaplikasikan untuk mereka yang telah master dalam baca Al Qur’an dan Kitab – kitab islam klasik (baca: Kitab Kuning). Dengan system ini para santri dituntut dan benar-benar diujit kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi mereka.
Metode utama sistem pembelajaran dan pengajaran yang diterapkan di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru (baca: ustadz) yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan kitab-kitab kuning dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28).
Selain itu, ada satu hal yang menurut penulis sangat penting yang diajarkan oleh lembaga pesantren dan saat ini dikesampingkan oleh lembaga pendidikan lain. Yaitu pendidikan moral. Bagaimana tidak, pendidikan moral saat ini seolah hanya menjadi selogan dan pemanis bibis saja. Di sekolah-sekolah (tidak semua sekolah) murid-murid diajarkan untuk berbuat curang, tidak jujur, berdusta, dan akhlak-akhlak jaman jahiliya lainnya (lihat tulisan sya sebelumnya yang mneyoroti masalah UNAS, maka disitu akan terlihat kebobrokan moral para oknum di lembaga sekolah). Sedangkan di pesantren, pendidikan moral sangat ditekankan keberadaannya. Bagaimana harus bersikap kepada kyai, ustadz, sesame santri dan sebagainya. Bahkan dalam setiap tingkatan kitab-kitab kuning yang membahas masalah moral ini (misalnya: adabul murid ma’a as-Syaikh, Ta’limul Muta’allim), dsb )hukumnya wajib dipelajari oleh para santri.
Semoga tulisan singkat ini bisa membuka mata anda yang memandang sebelah mata terhadap pondok pesantren.
Kamis, 18 Juni 2009
Selasa, 09 Juni 2009
UNAS, POTRET DARI WAJAH SURAM PENDIDIKAN DI INDONESIA: SEPENGGAL OPINI
Sungguh tragis ketika kita melihat wajah pendidikan di Indonesia saat ini. Wajah yang semakin hari bukan semakin ceria tapi justru semakin suram. Wajah yang suram itu akhir-akhir ini kembali tercoreng gara-gara masalah UNAS. Ya, UNAS yang seharusnya menjadi sebuah media untuk mengukur tingkat keberhasilan para peserta didik ternyata malah dijadikan sebagai ajang untuk berbuat kecurangan. Betapa tidak, sekitar 34 SMA dan 19 SMP di seluruh nusantara ditengarai telah bermain kotor dalam pelaksanaan UNAS. Mereka (baca: pihak sekolah) telah memberikan kunci jawaban palsu kepada para siswanya sehingga membuat nasib para siswa sampai dengan detik ini masih terkatung-katung.
Apa yang telah dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut disadari ataupun tidak telah menjerumuskan anak didik kita ke dalam lembah kesesatan. Mereka telah mengajarkan moral ketidak jujuran kepada para generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya moral generasi muda bangsa ini kalo di bangku sekolah saja mereka sudah diajari kebohongan dan kecurangan. Dan tidak bisa dibayangkan pula bagaimana nasib bangsa ini 20 tahun yang akan datang kalau para pemegang tongkat estafet perjuangan bangsa ini sudah dicekoki oleh hal-hal yang berbau ketidakberesan? Pertanyaan tersebut harus dicari jawaban dan solusinya oleh kita yang masih peduli akan nasib bangsa ini.
Sebenarnya, masalah UNAS adalah masalah klasik yang selalu menjadi bahan perdebatan setiap tahunnya. Mulai dari nama, system penyelenggaraan, konten dan substansi, maupun nilai minimal kelulusan. Polemik UNAS memang tidak mudah untuk diselesaikan karena di dalamnya sarat dengan muatan politis dan kepentingan oknum-oknum tertentu. Secara pribadi, sebenarnya penulis tidak sepakat kalau UNAS dijadikan sebagi tolak ukur kelulusan siswa. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, UNAS lebih berorientasi pada hasil dan mengabaikan sebuah proses belajar. Artinya, bahwa usaha dan proses belajar siswa selama 6 tahun (bagi siswa-siswi kolah Dasar) atau 3 tahun (bagi siswa-siswi SMP/SMA) di bangku sekolah hanya ditentukan 3 hari saja. Ini sungguh tragis karena anak didik kita diajari sesuatu yang selalu berorientasi pada hasil tanpa memperhatikan proses. Kan kasihan sekali bagi mereka yang sudah berjuang mati-matian dan sungguh-sungguh selama 6 atau 3 tahun harapannya harus pupus gara-gara UNAS. Bahkan kalau kita tinjau secara akademis, UNAS sangat bertolak belakang dengan system penilaian belajr modern atau yang lebih dikenal dengan istilah authentic assessment. Authentic assessment adalah sebuah system penilaian yang berorientasi dan berbasis pada proses belajar. Hal ini senada dengan definisi assessment yang diungkapkan oleh H. Douglas Brown. Menurut Brown (2004: 3) assessment is an ongoing process that encompasses a much wider domain than a test. Selain itu validity dan reliability UNAS juga diragukan karena system penilaiannya hanya berkutat pada satu aspek saja, yaitu aspek kognitif saja, dengan mengesampingkan aspek-aspek penilaian yang lain, yaitu aspek psikomotorik dan aspek afektif.
Alasan selanjutnya yang membuat penulis kurang sreg kalau UNAS dijadikan sebagai standar kelulusan siswa adalah dikebirinya aspek moralitas dalam UNAS. Kejujuran, seolah tidak dinilai lagi. Kebohongan, kecurangan, dan segala hal pun dihalalkan demi sebuah presitse, lulus 100%.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah UNAS harus tetap diselenggarakan atau dihapus begitu saja? Di sini penulis sependapat dengan tulisan saudara Munif Chatib di Jawa Pos pada edisi Sabtu, 06 Juni 2009. UNAS boleh saja diselenggarakan, tetapi dengan fungsi pemetaan kualitas, bukan menentukan peserta didik lulus atau gagal.
Lalu bagaimana untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik? Di sinilah peran guru dan satuan pendidikan (baca: sekolah) sangat dibutuhkan. Bukankah dengan diterapkannya KTSP, satuan pendidikan diberi kewenangan untuk merancang silabus sendiri? Dengan kata lain, kalau yang merancang silabus pembelajaran itu adalah satuan pendidikan, mengapa tidak satuan pendidikan saja yang mengconduct assessment untuk menentukan peserta didik itu lulus atau tidak. Hal ini disebabkan karena disadari ataupun tidak, hanya satuan pendidikanlah (terutama para guru) yang mengetahui polah tingkah, usaha, dan perkembangan peserta didik selama proses belajar berlangsung. Di sinilah kejujuran dan profesionalisme satuan pendidikan dan guru sangat dibutuhkan. Artinya, tidak boleh pilih kasih, berbuat curang dan nepotisme serta hal-hal yang tidak bermoral lainnya dalam menentukan kelulusan peserta didiknya. Pihak-pihak tersebut harus benar-benar memperhatikan mana peserta didik yang layak untuk mendapatkan predikat lulus dan mana yang gagal.
Semoga kedepannya potret pendidikan di bumi pertiwi yang bernama Indonesia ini akan semakin membaik…
Apa yang telah dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut disadari ataupun tidak telah menjerumuskan anak didik kita ke dalam lembah kesesatan. Mereka telah mengajarkan moral ketidak jujuran kepada para generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya moral generasi muda bangsa ini kalo di bangku sekolah saja mereka sudah diajari kebohongan dan kecurangan. Dan tidak bisa dibayangkan pula bagaimana nasib bangsa ini 20 tahun yang akan datang kalau para pemegang tongkat estafet perjuangan bangsa ini sudah dicekoki oleh hal-hal yang berbau ketidakberesan? Pertanyaan tersebut harus dicari jawaban dan solusinya oleh kita yang masih peduli akan nasib bangsa ini.
Sebenarnya, masalah UNAS adalah masalah klasik yang selalu menjadi bahan perdebatan setiap tahunnya. Mulai dari nama, system penyelenggaraan, konten dan substansi, maupun nilai minimal kelulusan. Polemik UNAS memang tidak mudah untuk diselesaikan karena di dalamnya sarat dengan muatan politis dan kepentingan oknum-oknum tertentu. Secara pribadi, sebenarnya penulis tidak sepakat kalau UNAS dijadikan sebagi tolak ukur kelulusan siswa. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, UNAS lebih berorientasi pada hasil dan mengabaikan sebuah proses belajar. Artinya, bahwa usaha dan proses belajar siswa selama 6 tahun (bagi siswa-siswi kolah Dasar) atau 3 tahun (bagi siswa-siswi SMP/SMA) di bangku sekolah hanya ditentukan 3 hari saja. Ini sungguh tragis karena anak didik kita diajari sesuatu yang selalu berorientasi pada hasil tanpa memperhatikan proses. Kan kasihan sekali bagi mereka yang sudah berjuang mati-matian dan sungguh-sungguh selama 6 atau 3 tahun harapannya harus pupus gara-gara UNAS. Bahkan kalau kita tinjau secara akademis, UNAS sangat bertolak belakang dengan system penilaian belajr modern atau yang lebih dikenal dengan istilah authentic assessment. Authentic assessment adalah sebuah system penilaian yang berorientasi dan berbasis pada proses belajar. Hal ini senada dengan definisi assessment yang diungkapkan oleh H. Douglas Brown. Menurut Brown (2004: 3) assessment is an ongoing process that encompasses a much wider domain than a test. Selain itu validity dan reliability UNAS juga diragukan karena system penilaiannya hanya berkutat pada satu aspek saja, yaitu aspek kognitif saja, dengan mengesampingkan aspek-aspek penilaian yang lain, yaitu aspek psikomotorik dan aspek afektif.
Alasan selanjutnya yang membuat penulis kurang sreg kalau UNAS dijadikan sebagai standar kelulusan siswa adalah dikebirinya aspek moralitas dalam UNAS. Kejujuran, seolah tidak dinilai lagi. Kebohongan, kecurangan, dan segala hal pun dihalalkan demi sebuah presitse, lulus 100%.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah UNAS harus tetap diselenggarakan atau dihapus begitu saja? Di sini penulis sependapat dengan tulisan saudara Munif Chatib di Jawa Pos pada edisi Sabtu, 06 Juni 2009. UNAS boleh saja diselenggarakan, tetapi dengan fungsi pemetaan kualitas, bukan menentukan peserta didik lulus atau gagal.
Lalu bagaimana untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik? Di sinilah peran guru dan satuan pendidikan (baca: sekolah) sangat dibutuhkan. Bukankah dengan diterapkannya KTSP, satuan pendidikan diberi kewenangan untuk merancang silabus sendiri? Dengan kata lain, kalau yang merancang silabus pembelajaran itu adalah satuan pendidikan, mengapa tidak satuan pendidikan saja yang mengconduct assessment untuk menentukan peserta didik itu lulus atau tidak. Hal ini disebabkan karena disadari ataupun tidak, hanya satuan pendidikanlah (terutama para guru) yang mengetahui polah tingkah, usaha, dan perkembangan peserta didik selama proses belajar berlangsung. Di sinilah kejujuran dan profesionalisme satuan pendidikan dan guru sangat dibutuhkan. Artinya, tidak boleh pilih kasih, berbuat curang dan nepotisme serta hal-hal yang tidak bermoral lainnya dalam menentukan kelulusan peserta didiknya. Pihak-pihak tersebut harus benar-benar memperhatikan mana peserta didik yang layak untuk mendapatkan predikat lulus dan mana yang gagal.
Semoga kedepannya potret pendidikan di bumi pertiwi yang bernama Indonesia ini akan semakin membaik…
UNAS : POTRET DARI WAJAH SURAM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Sungguh tragis ketika kita melihat wajah pendidikan di Indonesia saat ini. Wajah yang semakin hari bukan semakin ceria tapi justru semakin suram. Wajah yang suram itu akhir-akhir ini kembali tercoreng gara-gara masalah UNAS. Ya, UNAS yang seharusnya menjadi sebuah media untuk mengukur tingkat keberhasilan para peserta didik ternyata malah dijadikan sebagai ajang untuk berbuat kecurangan. Betapa tidak, sekitar 34 SMA dan 19 SMP di seluruh nusantara ditengarai telah bermain kotor dalam pelaksanaan UNAS. Mereka (baca: pihak sekolah) telah memberikan kunci jawaban palsu kepada para siswanya sehingga membuat nasib para siswa sampai dengan detik ini masih terkatung-katung.
Apa yang telah dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut disadari ataupun tidak telah menjerumuskan anak didik kita ke dalam lembah kesesatan. Mereka telah mengajarkan moral ketidak jujuran kepada para generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya moral generasi muda bangsa ini kalo di bangku sekolah saja mereka sudah diajari kebohongan dan kecurangan. Dan tidak bisa dibayangkan pula bagaimana nasib bangsa ini 20 tahun yang akan datang kalau para pemegang tongkat estafet perjuangan bangsa ini sudah dicekoki oleh hal-hal yang berbau ketidakberesan? Pertanyaan tersebut harus dicari jawaban dan solusinya oleh kita yang masih peduli akan nasib bangsa ini.
Sebenarnya, masalah UNAS adalah masalah klasik yang selalu menjadi bahan perdebatan setiap tahunnya. Mulai dari nama, system penyelenggaraan, konten dan substansi, maupun nilai minimal kelulusan. Polemik UNAS memang tidak mudah untuk diselesaikan karena di dalamnya sarat dengan muatan politis dan kepentingan oknum-oknum tertentu. Secara pribadi, sebenarnya penulis tidak sepakat kalau UNAS dijadikan sebagi tolak ukur kelulusan siswa. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, UNAS lebih berorientasi pada hasil dan mengabaikan sebuah proses belajar. Artinya, bahwa usaha dan proses belajar siswa selama 6 tahun (bagi siswa-siswi kolah Dasar) atau 3 tahun (bagi siswa-siswi SMP/SMA) di bangku sekolah hanya ditentukan 3 hari saja. Ini sungguh tragis karena anak didik kita diajari sesuatu yang selalu berorientasi pada hasil tanpa memperhatikan proses. Kan kasihan sekali bagi mereka yang sudah berjuang mati-matian dan sungguh-sungguh selama 6 atau 3 tahun harapannya harus pupus gara-gara UNAS. Bahkan kalau kita tinjau secara akademis, UNAS sangat bertolak belakang dengan system penilaian belajr modern atau yang lebih dikenal dengan istilah authentic assessment. Authentic assessment adalah sebuah system penilaian yang berorientasi dan berbasis pada proses belajar. Hal ini senada dengan definisi assessment yang diungkapkan oleh H. Douglas Brown. Menurut Brown (2004: 3) assessment is an ongoing process that encompasses a much wider domain than a test. Selain itu validity dan reliability UNAS juga diragukan karena system penilaiannya hanya berkutat pada satu aspek saja, yaitu aspek kognitif saja, dengan mengesampingkan aspek-aspek penilaian yang lain, yaitu aspek psikomotorik dan aspek afektif.
Alasan selanjutnya yang membuat penulis kurang sreg kalau UNAS dijadikan sebagai standar kelulusan siswa adalah dikebirinya aspek moralitas dalam UNAS. Kejujuran, seolah tidak dinilai lagi. Kebohongan, kecurangan, dan segala hal pun dihalalkan demi sebuah presitse, lulus 100%.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah UNAS harus tetap diselenggarakan atau dihapus begitu saja? Di sini penulis sependapat dengan tulisan saudara Munif Chatib di Jawa Pos pada edisi Sabtu, 06 Juni 2009. UNAS boleh saja diselenggarakan, tetapi dengan fungsi pemetaan kualitas, bukan menentukan peserta didik lulus atau gagal.
Lalu bagaimana untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik? Di sinilah peran guru dan satuan pendidikan (baca: sekolah) sangat dibutuhkan. Bukankah dengan diterapkannya KTSP, satuan pendidikan diberi kewenangan untuk merancang silabus sendiri? Dengan kata lain, kalau yang merancang silabus pembelajaran itu adalah satuan pendidikan, mengapa tidak satuan pendidikan saja yang mengconduct assessment untuk menentukan peserta didik itu lulus atau tidak. Hal ini disebabkan karena disadari ataupun tidak, hanya satuan pendidikanlah (terutama para guru) yang mengetahui polah tingkah, usaha, dan perkembangan peserta didik selama proses belajar berlangsung. Di sinilah kejujuran dan profesionalisme satuan pendidikan dan guru sangat dibutuhkan. Artinya, tidak boleh pilih kasih, berbuat curang dan nepotisme serta hal-hal yang tidak bermoral lainnya dalam menentukan kelulusan peserta didiknya. Pihak-pihak tersebut harus benar-benar memperhatikan mana peserta didik yang layak untuk mendapatkan predikat lulus dan mana yang gagal.
Semoga kedepannya potret pendidikan di bumi pertiwi yang bernama Indonesia ini akan semakin membaik…
Apa yang telah dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut disadari ataupun tidak telah menjerumuskan anak didik kita ke dalam lembah kesesatan. Mereka telah mengajarkan moral ketidak jujuran kepada para generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya moral generasi muda bangsa ini kalo di bangku sekolah saja mereka sudah diajari kebohongan dan kecurangan. Dan tidak bisa dibayangkan pula bagaimana nasib bangsa ini 20 tahun yang akan datang kalau para pemegang tongkat estafet perjuangan bangsa ini sudah dicekoki oleh hal-hal yang berbau ketidakberesan? Pertanyaan tersebut harus dicari jawaban dan solusinya oleh kita yang masih peduli akan nasib bangsa ini.
Sebenarnya, masalah UNAS adalah masalah klasik yang selalu menjadi bahan perdebatan setiap tahunnya. Mulai dari nama, system penyelenggaraan, konten dan substansi, maupun nilai minimal kelulusan. Polemik UNAS memang tidak mudah untuk diselesaikan karena di dalamnya sarat dengan muatan politis dan kepentingan oknum-oknum tertentu. Secara pribadi, sebenarnya penulis tidak sepakat kalau UNAS dijadikan sebagi tolak ukur kelulusan siswa. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, UNAS lebih berorientasi pada hasil dan mengabaikan sebuah proses belajar. Artinya, bahwa usaha dan proses belajar siswa selama 6 tahun (bagi siswa-siswi kolah Dasar) atau 3 tahun (bagi siswa-siswi SMP/SMA) di bangku sekolah hanya ditentukan 3 hari saja. Ini sungguh tragis karena anak didik kita diajari sesuatu yang selalu berorientasi pada hasil tanpa memperhatikan proses. Kan kasihan sekali bagi mereka yang sudah berjuang mati-matian dan sungguh-sungguh selama 6 atau 3 tahun harapannya harus pupus gara-gara UNAS. Bahkan kalau kita tinjau secara akademis, UNAS sangat bertolak belakang dengan system penilaian belajr modern atau yang lebih dikenal dengan istilah authentic assessment. Authentic assessment adalah sebuah system penilaian yang berorientasi dan berbasis pada proses belajar. Hal ini senada dengan definisi assessment yang diungkapkan oleh H. Douglas Brown. Menurut Brown (2004: 3) assessment is an ongoing process that encompasses a much wider domain than a test. Selain itu validity dan reliability UNAS juga diragukan karena system penilaiannya hanya berkutat pada satu aspek saja, yaitu aspek kognitif saja, dengan mengesampingkan aspek-aspek penilaian yang lain, yaitu aspek psikomotorik dan aspek afektif.
Alasan selanjutnya yang membuat penulis kurang sreg kalau UNAS dijadikan sebagai standar kelulusan siswa adalah dikebirinya aspek moralitas dalam UNAS. Kejujuran, seolah tidak dinilai lagi. Kebohongan, kecurangan, dan segala hal pun dihalalkan demi sebuah presitse, lulus 100%.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah UNAS harus tetap diselenggarakan atau dihapus begitu saja? Di sini penulis sependapat dengan tulisan saudara Munif Chatib di Jawa Pos pada edisi Sabtu, 06 Juni 2009. UNAS boleh saja diselenggarakan, tetapi dengan fungsi pemetaan kualitas, bukan menentukan peserta didik lulus atau gagal.
Lalu bagaimana untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik? Di sinilah peran guru dan satuan pendidikan (baca: sekolah) sangat dibutuhkan. Bukankah dengan diterapkannya KTSP, satuan pendidikan diberi kewenangan untuk merancang silabus sendiri? Dengan kata lain, kalau yang merancang silabus pembelajaran itu adalah satuan pendidikan, mengapa tidak satuan pendidikan saja yang mengconduct assessment untuk menentukan peserta didik itu lulus atau tidak. Hal ini disebabkan karena disadari ataupun tidak, hanya satuan pendidikanlah (terutama para guru) yang mengetahui polah tingkah, usaha, dan perkembangan peserta didik selama proses belajar berlangsung. Di sinilah kejujuran dan profesionalisme satuan pendidikan dan guru sangat dibutuhkan. Artinya, tidak boleh pilih kasih, berbuat curang dan nepotisme serta hal-hal yang tidak bermoral lainnya dalam menentukan kelulusan peserta didiknya. Pihak-pihak tersebut harus benar-benar memperhatikan mana peserta didik yang layak untuk mendapatkan predikat lulus dan mana yang gagal.
Semoga kedepannya potret pendidikan di bumi pertiwi yang bernama Indonesia ini akan semakin membaik…
Minggu, 24 Mei 2009
Belajar Loyalitas dari Sang Kapten: Sebuah Catatan Singkat Untuk Paolo Maldini
16 tahun silam, tepatnya tanggal 20 Januari 1985, sosok Paolo Maldini megawali karirnya sebagai aktor si kulit bundar di Friuli Stadium, home basenya Udinnese. Saat itu, mungkin tidak banyak yang tahu siapa sosok Maldini. Tetapi kemarin, 24 Mei 2009 di Guessepe meazza Stadium, Sansiro, Milan semua tifosi Milan yang hadir di sana dan para milanisti di seantero jagad tahu dan mengerti bahwa mereka akan ditinggalkan oleh sang kapten.
Ya, Paolo Maldini bukan hanya "seseorang pemain bola professional biasa", tetapi dia juga sosok kapten yang mampu memimpin rekan-rekannya di alpangan dan memberikan motivasi di saat timnya dalam kondisi tertekan. Selain itu, sosok Maldini juga dikenal sebagai pemain yang memiliki loyalitas tinggi terhadap klubnya, AC Milan. Bayangkan, dari tahun 1985 – 2009 dia hanya mengabdikan dirinya untuk satu nama, AC Milan. Padahal, jika dia mau, dia bisa saja menerima tawaran dari klub lain yang memberinya bayaran lebih besar. Namun tidak bagi Maldini, godaan materi ternyata tidak mampu meluluhkan hatinya untuk selalu bersama AC Milan hingga masa akhir kariernya. Dan hal itulah yang membuat namanya menjadi legenda hidup Milan.
Bersama AC Milan, Maldini telah mengukir sederet prestasi, diantaranya: 7 kali juara Liga Italia, 5 kali juara Liga Champions, 1 satu juara Copa Italia, 5 kali juara Super Copa Italia, 2 kali Piala Toyota (Piala Interkontinental), 1 kali juara dunia antar klub. Sudah lebih dari seribu pertandingan dijalani sebagai pemain profesional, baik di level klub maupun tim nasional.
Itulah sekilas tentang sosok Paolo Maldini. Seorang pemain sepakbola professional yang mempunyai loyalitas dan integritas tinggi terhadap klub yang dibelanya. Dan kini, sosok itu telah memutuskan untuk berhenti sebagai actor lapangan hijau. Namun demikian, meskipun dia telah berhenti, namanya akan tetap menggema di angkasa Sansiro. Nama Paolo Cesare Maldini akan tetap membahana di kalangan insane pecinta sepak bola, terutama para Milanisti. Selamat jalan sang kapten……
Ya, Paolo Maldini bukan hanya "seseorang pemain bola professional biasa", tetapi dia juga sosok kapten yang mampu memimpin rekan-rekannya di alpangan dan memberikan motivasi di saat timnya dalam kondisi tertekan. Selain itu, sosok Maldini juga dikenal sebagai pemain yang memiliki loyalitas tinggi terhadap klubnya, AC Milan. Bayangkan, dari tahun 1985 – 2009 dia hanya mengabdikan dirinya untuk satu nama, AC Milan. Padahal, jika dia mau, dia bisa saja menerima tawaran dari klub lain yang memberinya bayaran lebih besar. Namun tidak bagi Maldini, godaan materi ternyata tidak mampu meluluhkan hatinya untuk selalu bersama AC Milan hingga masa akhir kariernya. Dan hal itulah yang membuat namanya menjadi legenda hidup Milan.
Bersama AC Milan, Maldini telah mengukir sederet prestasi, diantaranya: 7 kali juara Liga Italia, 5 kali juara Liga Champions, 1 satu juara Copa Italia, 5 kali juara Super Copa Italia, 2 kali Piala Toyota (Piala Interkontinental), 1 kali juara dunia antar klub. Sudah lebih dari seribu pertandingan dijalani sebagai pemain profesional, baik di level klub maupun tim nasional.
Itulah sekilas tentang sosok Paolo Maldini. Seorang pemain sepakbola professional yang mempunyai loyalitas dan integritas tinggi terhadap klub yang dibelanya. Dan kini, sosok itu telah memutuskan untuk berhenti sebagai actor lapangan hijau. Namun demikian, meskipun dia telah berhenti, namanya akan tetap menggema di angkasa Sansiro. Nama Paolo Cesare Maldini akan tetap membahana di kalangan insane pecinta sepak bola, terutama para Milanisti. Selamat jalan sang kapten……
Langganan:
Postingan (Atom)
Khutbah Jum'at: Rezekimu dalam Jaminan Alloh Swt.
Khutbah I اَلْحَمْدُ لِلهِ وَاسِعِ الْفَضْلِ وَالْاِحْسَانِ، اَلْكَرِيْمِ الَّذِيْ تَأَذَّنَ بِالْمَزِيْدِ لِذَوِي الشُّكْرَا...
-
Oleh: Qoni' Zamili, Muhamad Nur Hidayad, Eryun Passetyo, A.F Sulaiman ABSTRAK Nyethe merupakan kebiasaan perokok di daerah Tulungagung y...
-
JABUTAN ACAK DI DESA WONOREJO KECAMATAN LUMBANG KABUPATEN PASURUAN: ANALISIS NILAI DAN PERANNYA DI ERA GLOBALISASI Muhamad Nur Hidayad (Juru...
-
M.N. Hidayad Introduction Compared to the other three language skills, there is no doubt that writing is the most difficult skill for seco...